Selamat Datang Bro and Sis WWW.JITUPOKER.COM

Monday, August 24, 2015

Cerita Dewasa: Ngentotin Kawan Mama Tiri

Namaku Bernas dan aku tinggal di Jakarta. Di saat
aku menulis cerita ini, aku baru saja menginjak
umur 25 tahun. Aku bekerja di sebuah
perusahaan marketing ternama di kawasan
daerah Kuningan (Jakarta Selatan). Perusahaan
kami ini adalah anak dari perusahaan marketing
Inggris yang mana Head Office untuk Asia Pasific
berada di negeri Singapore. Aku bisa bekerja di
perusahaan ini atas bantuan ibu tiriku yang
memiliki banyak kolega perusahaan-perusahaan
ternama di Jakarta.
Ibu tiriku tergolong orang yang terpandang dan
kaya. Bekas suaminya adalah pengusaha
distributor minyak bumi dalam negeri yang
punya akses mudah ke instansi-instansi
pemerintah. Ibu tiriku cerai dengan bekas
suaminya karena bekas suaminya memiliki
banyak ’selir-selir’ di beberapa kota di pulau Jawa
dan beberapa lagi di luar pulau Jawa. Karena
tidak tahan dengan situasi yang dia hadapi, dia
memutuskan untuk bercerai dengan bekas
suaminya. Menurut cerita ibu tiriku, urusan
perceraiannya sangatlah rumit, berbelit-belit, dan
memakan waktu berbulan-bulan. Seperti biasa
pembagian harga gono-gini yang membuat
urusan cerai menjadi lebih panjang. Sampai
pada akhirnya hasil dari penceraian tersebut, ibu
tiriku mendapat 30% dari seluruh aset dan
kekayaan bekas suaminya. Namun setelah itu,
ibu tiriku tidak diperbolehkan lagi untuk meminta
jatah lagi kekayaan bekas suaminya setelah
penceraiannya final di pengadilan. Bisa para
pembaca membayangkan seberapa besar
warisan kekayaan ibu tiriku.
Bagaimana dengan keluarga asliku? Ayah
bercerai dengan ibu kandungku saat aku masih
berumur 7 atau 8 tahun. Masalah dari penceraian
tersebut, aku masih kurang tahu sampai
sekarang ini. Ayah lebih memilih untuk tidak
menceritakan masalah tersebut, dan aku pun
tidak pernah lagi bertanya kepadanya. Aku
mengerti perasaan ayah, karena saat itu
kehidupan ekonomi keluarga masih sangat sulit
dan ayah pada saat itu hanya seorang pegawai
toko di daerah Mangga Besar.
Meskipun hanya pegawai toko biasa, ayah
memiliki bakat dan hobi mekanik yang
berhubungan dengan mesin motor. Pendidikan
ayah hanya sampai pada tamatan SD, dan dia
mendapat ilmu montirnya dari kakek yang dulu
sempat bekerja di bengkel reparasi mobil. Ayah
selalu memiliki cita-cita untuk membuka bengkel
sendiri.
Setelah bercerai dengan ibu kandungku, aku dan
ayah sering berpindah-pindah rumah kontrak.
Ekonomi ayah juga tidak juga membaik. Sering
istilah kehidupan kami bak ‘gali lubang tutup
lubang’. Setiap tahun gaji ayah naik hanya sedikit
saja, dan kebutuhan ekonomi selalu meningkat.
Namun ayah tidak pernah menyerah untuk
berusaha lebih demi menyekolahkan aku.
Untungnya aku tergolong anak yang suka
sekolah dan belajar, oleh karenanya ayah tidak
pernah mengenal lelah mencari uang tambahan
agar aku menjadi orang yang berilmu dan
mencapai karir indah di masa depanku.
Cita-cita ayah membuka bengkel reparasi mobil
sendiri bermula dari keisengannya melamar
kerja di bengkel mobil dekat rumah kontrakan
kami. Ayah kerja di toko hanya selama 6 hari
seminggu bergantian, tapi ayah menetapkan
untuk mengambil hari Sabtu libur agar dia bisa
bekerja di bengkel mobil tersebut. Karena bakat
dan cinta ayah terhadap mesin mobil dan motor,
ayah menjadi tukang favorit di bengkel tersebut.
Perlahan-lahan ayah mengurangi hari kerja ayah
sebagai pegawai toko menjadi 5 hari seminggu,
kemudian 4 hari seminggu, dan terakhir 3 hari
seminggu. Sampai pada akhirnya bengkel
menarik banyak pelanggan tetap, dan ayah
diminta untuk bekerja sebagai pegawai tetap di
bengkel itu. Gaji ayah naik 3 kali lipat dari gaji
sebagai pegawai toko plus bonus dan tip-tip dari
pelanggan. Lebih bagusnya lagi ayah hanya
bekerja 5 hari saja dari hari Senin sampai Jumat.
Ayah sengaja tidak memilih hari Sabtu dan
Minggu demi menghabiskan waktu berdua
denganku. Setiap hari Sabtu ayah suka
menjemputku sepulang sekolah, maklum
biasanya sekolahku hanya masuk 1/2 hari di hari
Sabtu dan kami berdua suka jajan di luar
sebelum pulang ke rumah.
Sejak bekerja di bengkel itu, aku menjadi dekat
dengan ayah. Dengan kondisi ekonomi yang
semakin membaik dari hari ke hari, kini ayah
mampu untuk membeli rumah sendiri meskipun
tidak besar. Malaikat keberuntungan sedang
berada disamping ayah. Ayah orang yang baik,
tekun dan jujur, maka dari itu ayah diberi banyak
rejeki dari yang di atas. Bengkel itu menjadi
tumbuh pesat pula berkat kedatangan ayah.
Demi menjaga hubungan baik antara ayah
dengan bos bengkel itu, ayah diberi komisi 15%
dari setiap pembayaran service/reparasi mobil/
motor yang dia urus plus bonus tahunan dan
belum lagi tip-tip dari pelanggan.
Nama bengkel menjadi terkenal karena
rekomendasi dari mulut ke mulut, sampai pada
suatu hari ibu tiriku ini menjadi pelanggan tetap
bengkel itu. Ibu tiriku mendengar nama bengkel
dan nama ayahku dari teman dekatnya. Saat itu
ibu tiriku memiliki 3 buah mobil. Seingatku waktu
itu ada BMW, Mercedes, dan mobil kijang. Ibu
tiriku sering mengunjungi bengkel ayah dengan
alasan untuk check up antara mobil BMW-nya
atau Mercedes-nya. Mobil kijangnya hanya
datang dengan supir.
Sebut saja nama ibu tiriku adalah Tina (nama
singkatan). Saat itu aku memanggilnya tante
Tina. Umur tante Tina 4 tahun lebih muda dari
ayah. Kerutinan tante Tina ke bengkel menjadi
awal dari romansa antara dia dan ayah. Ayah
sering kencan berdua dengan tante Tina, dan
terkadang mereka mengajakku pergi bersama-
sama pula. Terus terang sejak bersama tante
Tina, wajah ayah lebih tampak berseri-seri dan
lebih segar. Mungkin saat itu dia menemukan
cinta keduanya setelah bertahun-tahun berpisah
dengan ibu kandungku. Melihat perubahaan
positif ayah, aku pun menjadi ikut senang. Aku
juga senang bila tante Tina datang berkunjung,
karena dia sering membawa oleh-oleh berupa
makanan atau minuman yang belum pernah aku
liat sebelumnya. Belakangan aku baru tau bahwa
bingkisan itu adalah pemberian dari kolega
bisnisnya. Salah satu rumah Tante Tina berada di
daerah Jakarta Selatan, dan tentu banyak orang
tau bahwa kawasan ini adalah kawasan elit.
Setelah bercerai, tante Tina membuka beberapa
bisnis elit di sana seperti salon/spa kecantikan,
dan butik. Para pelanggannya juga dari kalangan
kaliber atas seperti pejabat dan artis. Dia
menyewa beberapa prajurit terpecaya untuk
menjalankan usaha-usaha bisnisnya.
Dalam singkat cerita, ayah dan tante Tina
akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah
menikah aku disuruh memanggilnya ‘mama’.
Perlu waktu beberapa minggu untuk
memanggilnya ‘mama’, tapi lama-lama aku
menjadi biasa untuk memanggilnya ‘mama’.
- - - - - - - - -
Untuk lebih singkatnya dalam cerita ini, aku akan
menyebut ‘ibu tiriku’ sebagai ‘ibu’.
- - - - - - - - -
Sejak setelah menikah, ibu tinggal di rumah kecil
kami beberapa bulan sambil menunggu
bangunan rumah baru mereka selesai. Lagi-lagi,
rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel
ayah. Ayah menolak tinggal di rumah tante Tina
karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak
process yang dilakukan antara ayah dan ibu,
akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini
menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya. Ayah
pernah memohon kepada ibu agar dia ingin
tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja
bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli
saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded
person’. Aku semakin sayang dengan ibu,
karena pada akhirnya cita-cita ayah untuk
memiliki bengkel sendiri terkabulkan. Kini bengkel
ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar
di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan
yang membuat bengkel ayah tampak lebih
menarik. Pelanggan ayah makin bertambah, dan
kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya.
Ayah tidak memecat pegawai-pegawai lama di
sana, malah menaikkan gaji mereka dan
memperlakukan mereka seperti saat dia
diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama.
Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar-
benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering
melancong ke luar negeri bersama ibu, dan aku
sering ditinggal di rumah sendiri dengan
pembantu. Alasan aku ditinggal mereka karena
aku masih harus sekolah.
Ibu sering mengundang teman-teman lamanya
bermain di rumah. Salah satu temannya
bernama tante Ani. Tante Ani saat itu hanya 15
tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas
aku panggil kakak daripada tante, karena
wajahnya yang masih terlihat seperti orang
berumur 20 tahunan. Tanti Ani adalah pelanggan
tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian
menjadi teman baik ibu. Wajah tante Ani
tergolong cantik dengan kulitnya yang putih
bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi
pinggulnya indah bukan main. Maklum anak
orang kaya yang suka tandang ke salon
kecantikan. Tante Ani sering main ke rumah dan
kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu
berjam-jam. Tidak jarang tante Ani keluar
bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop,
window shopping atau ngafe di mall.
Aku pernah sempat bertanya tentang kehidupan
pribadi tante Ani. Ibu bercerita bahwa tante Ani
itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi
tante Ani sempat ingin menikah, tapi ternyata
pihak dari laki-laki memutuskan untuk
mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak
dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih
terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti ini.
Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari
rumah. Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri,
tapi hanya melancong ke kota Bandung saja
selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan
pembantu saja yang tinggal di rumah. Saat itu
aku ingin sekali kabur dari rumah, dan menginap
di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi
dan waktu itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu.
Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu berangkat
ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah
mengambil barang yang ketinggalan.
Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu,
suara tante Ani menyapanya. Aku hanya duduk
bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil
nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.
“Bernas kok ngga ikut papa mama ke Bandung?”
tanya tante Ani.
“Kalo ke Bandung sih Bernas malas, tante. Kalo
ke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore.
Tante ada apartment di sana” tungkas tante Ani.
Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh.
Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa
dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo
penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak
mamamu makan aja. Yah sekarang tante
bakalan makan sendirian nih. Bernas mau ngga
temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan
banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih belon laper. Jam
7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”
Kami berdua nonton bersebelahan di sofa yang
empuk. Sore itu tante Ani mengenakan baju
yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat
sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya
memakai baju berwarna orange muda tanpa
lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira-
kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari
pangkal lehernya). Kaki tante Ani putih mulus,
tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena
dia rajin bersalon ria di salon ibu, paling tidak
seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih
mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel
seadanya saja sambil menunggu sampai jam 7
malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol
santai, kebanyakan tante Ani suka bertanya
tentang kehidupan sekolahku sampai
menanyakan tentang kehidupan cintaku di
sekolah. Aku mengatakan kepada tante Ani
bahwa aku saat itu masih belum mau terikat
dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo
naksir sih ada, cuma aku tidak sampai
mengganggap terlalu serius.
Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh
tante Ani semakin mendekat ke arahku. Bau
parfum Chanel yg dia pakai mulai tercium jelas di
hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran
apa-apa saat itu.
Tiba-tiba tante Ani berkata, “Bernas, kamu suka
dikitik-kitik ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?” tante Ani
menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?”
tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas
tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat
bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Bernas. Kan cuman
ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih
belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas
tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini
baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.
Seperti sapi dicucuk hidungnya, aku menurut
saja dengan tingkah polah tante Ani. Ternyata
memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’
dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada
tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa
nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan
memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai
jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Suara
lembut membisikkan telingaku.
“Bernas, bangun yuk. Tante dah laper nih.” kata
tante.
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.”
tanyaku dengan mata yang masih setengah
terbuka.
“Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo bangun, tante
dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin
tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.”
kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja
yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di
dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok.
Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit lagi deh
tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau
pingsan dah.”
Sambil malas-malasan aku bangun dari sofa.
Kulihat tante Ani sedang membenarkan posisi
roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek
sekali sih sampe-sampe rok tante Ani tersingkap
tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas
paha mulus tante Ani, begitulah aku berpikir. Ada
rasa senang juga di dalam hati.
Setelah mencuci muka, ganti pakaian, kita berdua
berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita
akan makan keluar. Aku berpesan kepada
pembantu agar jangan menunggu aku pulang,
karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku
membawa kunci rumah, untuk berjaga-jaga
apabila pembantu rumah sudah tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil tante dong.”
“Ogah ah, Bernas cuman mau setir Baby Benz
tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu
itu tante Ani membawa sedan Honda, bukan
Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini,
bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut ama papa
mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante
Ani sambil tertawa kemenangan.
Mobil melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta.
Tante Ani seperti bebek saja, ngga pernah stop
ngomong and gossipin teman-temannya. Aku
jenuh banget yang mendengar. Dari yang cerita
pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan
tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang,
aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya
yang tersohor di sana. Untung tante Ani tidak
protes dengan pilihan saya, mungkin karena
sudah terlalu lapar dia.
Setelah makan, kita mampir ke tempat main
bowling. Abis main bowling tante Ani
mengajakku mampir ke rumahnya. Tante Ani
tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman
Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri
karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante
Ani sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau
apa pekerjaan sehari-hari tante Ani, yang tante
Ani tidak pernah merasa kekurangan materi.
Apartemen tante Ani lumayan bagus dengan tata
interior yang classic. Di sana tidak ada siapa-
siapa yang tinggal di sana selain tante Ani. Jadi
aku bisa maklum apabila tante Ani sering keluar
rumah. Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di
apartemen.
“Anggap rumah sendiri Bernas. Jangan malu-
malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Bernas mau yang ini.” sambil
menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih
disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.”
cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga
masalah” jawabku dengan bermaksud membela
diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan
buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka
botolnya.”.
Tiba-tiba suara tante Ani menghilang dibalik
master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan
sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam
dan luar negeri terpampang di dinding. Lukisan
dalam negerinya banyak yang bergambarkan
wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan
yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan
barang yang murahan.
“Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke
Bali tahun lalu” kata tante Ani memecahkan
suasana hening sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal
yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar
harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal.
Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia
tawarkan, tante pergi saja.”
Aku masih menyibukkan diri mengamati lukisan-
lukisan yang ada, dan tante Ani tidak bosan
menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut.
Tante Ani ternyata memiliki kecintaan tinggi
terhadap seni lukis.
“Ok deh. Kalo begitu Bernas mau pamit pulang
dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante
istirahat aja dulu yah.” kataku.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga
masih belum ngantuk. Temenin tante bentar
yah.” mintanya sedikit memohon.
Aku juga merasa kasihan dengan keadaan tante
Ani yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi
aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi,
sampai nanti tante Ani sudah ingin tidur.
“Kita main UNO yuk?!” ajak tante Ani.
“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?”
tanya tante Ani. Aku hanya menggeleng-
gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda
tante Ani. Aku hanya memasang tampak
cemburut canda.
Tante Ani masuk ke kamarnya lagi untuk
membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke
dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama
minuman. Tante Ani membawa kacang mente
asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy
V.S.O.P on rock (pake es batu). Setelah
mengajari aku cara bermain UNO, kamipun
mulai bermain-main santai sambil makan kacang
mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar
keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa
panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip
saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum
sendirian.
Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas.
Melihat kejadian ini, tante Ani menjadi tertawa,
dan mengatakan bahwa aku bukan bakat
peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya
aku minum 1 gelas Hennessy sendirian.
“Tante, anterin Bernas pulang yah. Kepala ogut
rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah
pusing.” jawab tante Ani.
Aku merasa tante Ani berusaha mencegahku
untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti
sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Ani
minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat
tingkahku yang suka menurut, tante Ani mulai
terlihat lebih berani lagi. Dia mengajakku main
kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang
seru kalau hanya berdua. Paling tepat untuk
bermain UNO itu berempat.
Tapi permainan kartu ini menjadi lebih seru lagi.
Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang
kalah harus menuruti permintaan pemenang.
Tapi kemudian tante Ani ralat menjadi ‘Truth &
Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan
terus terang aja tante Ani sangat menikmati
permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila
dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia
selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’
punishment, lama-lama aku menjadi semakin
berani menanyakan yang bukan-bukan.
Sebaliknya dengan tante Ani, dia lebih suka
memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa
lebih leluasa mengerjaiku. Dari yang disuruh
pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es
batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga
tidak ada pointnya buat tante Ani menanyakan
the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku
terlihat lurus-lurus saja menurutnya.
Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the
‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun
juga heran kenapa aku menjadi tertarik untuk
mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi.
Mula-mula aku bertanya tentang mantan
tunangannya, kenapa sampai batal
pernikahannya. Sampai pertanyaan yang
menjurus ke seks seperti misalnya kapan
pertama kali dia kehilangan keperawanan.
Semuanya tanpa ragu-ragu tante Ani jawab
semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku
lontarkan.
Kini permainan kami semakin wild dan berani.
Tante Ani mengusulkan untuk
mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip
Poker’. Aku pun semakin bergairah dan
menyetujui saja usul tante Ani.
“Yee, tante menang lagi. Ayo lepas satu yang
menempel di badan kamu.” kata tante Ani
dengan senyum kemenangan.
“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante
yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.”
jawabku sambil melepas kaus kakiku.
Selang beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi …
kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Ani
kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas
kalung emas pemberian ibu yang aku kenakan.
“Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes
yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …”
candaku sambil tertawa gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.”
jawab tante sambil melepas anting-anting yang
dikenakannya.
Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin
bernapsu untuk melihat tante Ani bugil juga. Aku
pengen sekali menang terus.
“Full house … yeahhh … kalah lagi tante. Ayo
lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari
gembira.
Terlihat tante Ani melepas jepit rambut
merahnya, dan aku segera saja protes “Loh,
curang kok lepas yang itu?”.
“Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang
menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di
rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi
masih dianggap menempel dong.” jawabnya
membela.
Aku rada gondok mendengar pembelaan tante
Ani. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih
deras lagi.
“Straight … Bernas … One Pair … Yes tante
menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru
tante Ani girang. Aku pun segera melepas jaket
aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai
jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah
pembalasanku, kataku dalam hati.
“Bernas Three kind … tante … one pair … ahhh …
lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum.
Dan tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu,
tante melepas baju atasannya. Aku serentak
menelan ludah, karena baju atasan tante telah
terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih
tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih
bersih. Bernas junior dengan serentak langsung
menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah
belahan dadanya.
“Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda
tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku
kaget sambil tersenyum malu.
“Yes Full House, kali ini tante menang. Ayo buka
… buka”. Tampak tante Ani girang banget bisa
dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini
aku terlanjang dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan
hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.”
sindir tante Ani sambil tersenyum.
Setelah menegak habis wine yang ada di
gelasnya, tante Ani kemudian beranjak dari
tempat duduknya menuju ke dapur dengan
keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama
kemudian tante Ani membawa sebotol wine
merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol
V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-
puasnya.” ucap tante Ani.
Kami saling ber-tos ria dan kemudian
melanjutkan kembali permainan strip poker
kami.
“Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda
aku menang lagi.
Tanpa disuruh, tante Ani melepas rok mininya
dan aduhaiii, kali ini tante Ani hanya terliat
mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam
itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut
berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-
bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku
sempat berpikir apakah tante Ani mencukur
semua bulu-bulu pubisnya.
Muka tante Ani sedikit memerah. Kulihat tante
Ani sudah menegak abis gelas winenya yang
kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam
ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu.
Aku hanya bernafsu untuk memenangkan
permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat
tubuh terlanjang tante Ani.
“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis
indah di wajahku.
Tante Ani kemudian memandangkan wajahku
selang beberapa saat, dan berkata dengan nada
genitnya “Sekarang Bernas tahan napas yah.
Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali
ini tante Ani melepaskan BH-nya dan serentak
jatungku ingin copot. Benar apa kata tante Ani,
aku seperti terkena setrum listrik bertegangan
tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan
jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali
aku melihat payudara wanita dewasa secara jelas
di depan mata. Payudara tante Ani sungguh
indah dengan putingnya yang berwarna coklat
muda menantang.
“Aih Bernas, ngapain liat susu tante terus. Tante
masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya
tante Ani. Aku hanya bisa menganggukkan
kepala pertanda ‘iya’.
“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih.
Dasar genit kamu.” tambah tante Ani lagi. Aku
sekali lagi hanya bisa mengangguk malu.
Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain,
mataku sering kali melirik kedua payudaranya
dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada
apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di
mana menurut teman-teman sekolah adalah
surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat
bentuknya dan kalo bisa memegang atau
meraba-raba.
Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku
yang kalah, dan tante Ani meminta aku melepas
celana yang aku kenakan. Kini aku terlanjang
dada dengan hanya mengenakan celana dalam
saja. Tante Ani hanya tersenyum-senyum saja
sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja
menolak tawaran tante Ani untuk menegak
V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi.
Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di
tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya.
Babak penentuan apakah tante Ani akan melihat
aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku
berharap malam itu malaikat keberuntungan
berpihak kepadaku.
Ternyata harapanku sirna, karena ternyata
malaikat keberuntungan berpihak kepada tante
Ani. Aku kecewa sekali, dan wajah
kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Ani.
Sewaktu aku akan melepas celana dalamku
dengan malu-malu, tiba-tiba tante Ani
mencegahnya.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau celana dalam
mu dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga
seru kalo game-nya cepat habis kayak begini”
kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Ani
terdiam sejenak kemudian tersenyum genit.
Senyum genitnya ini lebih menantang daripada
yang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk … hmmm … cium
bibir tante sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?”
tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas belum pernah
soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian
pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Ani.
Tanpa berpikir ulang, aku mulai mendekatkan
wajahku ke wajah tante Ani. Tante Ani kemudian
memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya
menempelkan bibirku ke bibir tante Ani. Tante
Ani diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya
mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan.
Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh
air liur tante Ani. Bau wine merah sempat
tercium di hidungku.
Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha
menandinginya dengan membalas lumatan bibir
tante Ani. Maklum ini baru pertama, jadi aku
terkesan seperti anak kecil yang sedang
melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat,
aku kaget dengan tingkah baru tante Ani. Tante
Ani dengan serentak menjulurkan lidahnya
masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak
merasa jijik sama sekali, malah senang
dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah
tante Ani, dan kini lidah kami kemudian saling
berperang di dalam mulutku dan terkadang pula
di dalam mulut tante Ani.
Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang
lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak
karuan, dah kupingku panas dibuatnya. Tante
Ani seakan-akan menikmati betul ciuman ini.
Nafas tante Ani pun masih teratur, tidak ada
tanda sedikitpun kalau dia tersangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi
pokernya” ajak tante Ani.
Aku pun mulai mengocok kartunya, dan
pikiranku masih terbayang saat kita berciuman.
Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya.
Kali ini aku menang, dan terang saja aku
meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya.
Tante Ani menurut saja dengan permintaanku
ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali
ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar
Bernas bosan ama tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga
yah ciuman.” jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih
…” seru tante Ani kemudian terputus. Kalimat
tante Ani ini masih menggantung bagiku,
seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang
menurutku sangat penting. Aku terbayang-
bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Ani
malam itu.
Aku semakin berani dan menjadi sedikit tidak tau
diri. Aku punya perasaan kalo tante Ani sengaja
untuk mengalah dalam bermain poker malam
itu. Terang aja aku menang lagi kali ini. Aku
sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku
sangat memanfaatkan situasi yang sedang
berlangsung.
“Bernas menang lagi tuh. Jangan minta ciuman
lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Ani
sambil menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen emut-emut susu tante
Ani.” jawabku tidak tau malu.
Ternyata wajah tante Ani tidak tampak kaget atau
marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil
berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di
dalam pikiran kamu, Bernas.”.
“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran. Tante Ani
hanya mengangguk pertanda setuju.
Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara
sebelah kanan tante Ani. Bau parfum harum
yang menempel di tubuhnya tercium jelas di
hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai
mengulum puting susu tante Ani dengan
lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap
di atas karpet ruang tamu tante Ani, memberikan
fondasi kuat agar wajahku tetap bebas
menelusuri payudara tante Ani. AKu kulum
bergantian puting kanan dan puting kiri-nya.
Kuluman yang tante Ani dapatkan dariku
memberikan sensasi terhadap tubuh tante Ani.
Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan
dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante
Ani perlahan-lahan semakin memburu, dan
terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa
memastikan bahwa tante Ani saat ini sedang
terangsang atau istilah modern-nya ‘horny’.
“Bernasss … kamu nakal banget sih! … haahhh …
Tante kamu apain?” bisik tante Ani dengan nada
terputus-putus. Aku tidak mengubris kata-kata
tante Ani, tapi malah semakin bersemangat
memainkan kedua puting susunya. Tante Ani
tidak memberikan perlawanan sedikitpun, malah
seolah-olah seperti memberikan lampu hijau
kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak
senonoh terhadap dirinya.
Aku mencoba mendorong tubuh tante Ani
perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet.
Ternyata tante Ani tidak menahan/menolak,
bahkan tante Ani hanya pasrah saja. Setelah
tubuhnya terbaring di atas karpet, aku
menghentikan serangan gerilyaku terhadap
payudara tante Ani. Aku perlahan-lahan
menciumi leher tante Ani, dan oh my, wangi
betul leher tante Ani. Tante Ani memejamkan
kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya
mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya,
memberikan sensasi dan getaran yang berbeda
terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti
mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa
yang harus aku lakukan, padahal ini baru
pertama kali seumur hidupku menghadapi
suasana seperti ini.
Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di
atas bibir tante Ani, dan kami kembali berciuman
mesra sambil berperang lidah di dalam mulutku
dan terkadang di dalam mulut tante Ani.
Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan
kiriku menjadi bantal untuk kepala belakang tante
Ani, sedangkan tangan kananku meremas-
remas payudara kiri tante Ani.
Tubuh tante Ani seperti cacing kepanasan.
Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak
berkonsentrasi lagi berciuman denganku. Tanpa
diberi komando, tante Ani tiba-tiba melepas
celana dalamnya sendiri. Mungkin saking
‘horny’-nya, otak tante Ani memberikan instinct
bawah sadar kepadanya untuk segera melepas
celana dalamnya.
Aku ingin sekali melihat kemaluan tante Ani saat
itu, namun tante Ani tiba-tiba menarik tangan
kananku untuk mendarat di kemaluannya.
“Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/
memek tante Ani mulus sekali. Ternyata semua
bulu jembut tante Ani dicukur abis olehnya. Dia
menuntun jari tengahku untuk memainkan
daging mungil yang menonjol di memeknya.
Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini
yang aku maksudkan itu. Secara umum daging
mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil
saja. Aku putar-putar itil tante Ani berotasi searah
jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini
memek tante Ani mulai basah dan licin.
“Bernasss … kamu yah … aaahhhh … kok berani
ama tante?” tanya tante Ani terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan Bernas ke sini?”
jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Bernasss …
Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Ani
lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas
dengan tingkah tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Ani
mulai serak-serak basah.
Aku tetap memainkan itil tante Ani, dan ini
membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak
lama kemudian tante Ani menjerit kencang
seakaan-akan terjadi gempa bumi saja.
Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya
sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Ani
bukan tipe wanita yang suka merawat kuku
panjang, jadi cakaran tante Ani tidak sakit buatku.
“Bernasss … tante datangggg uhhh oohhh …”
erang tante Ani. Aku yang masih hijau waktu itu
kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu.
Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu, tubuh
tante Ani lemas dan nafasnya terengah-engah.
Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana
dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah
lupa sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap
menikmati tubuh tante Ani, tapi sedikit ragu,
karena takut akan ditolak oleh tante Ani. Keragu-
raguanku ini terbaca oleh tante Ani. Dengan
lembutnya tante Ani berkata, “Bernas, kalo
pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh,
sebelon gairah tante habis. Tuh liat kontol Bernas
dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah
panas.”.
Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh
tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan
kuarahkan batang penisku ke mulut vagina tante
Ani, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan.
Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan
milik tante Ani. Selain mungkin karena basahnya
dinding-dinding memek tante Ani yang
memuluskan jalan masuk penisku, juga karena
mungkin sudah beberapa batang penis yang
telah masuk di dalam sana.
“Uhhh … ohhh … Bernasss … ahhh …” desah
tante Ani.
Aku coba mengocok-kocok memek tante Ani
dengan penisku dengan memaju-mundurkan
pinggulku. Tante Ani terlihat semakin ‘horny’,
dan mendesah tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh Bernasss …
geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Ani.
Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante
Ani, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan
tante Ani, sehingga aku berhenti sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau keluar belum … ”
tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi …
” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam.
Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante
lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante
ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi
jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin
lagi dong …” canda tante Ani genit.
Tanpa menunda banyak waktu lagi, aku
lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa
merasakan memek tante Ani semakin basah
saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak
lendir putih di sekitar bulu jembutku.
Aku mulai berkeringat di punggung belakangku.
Muka dan telingaku panas. Tante Ani pun juga
sama. Suara erangan dan desahan-nya makin
terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak
menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan
tante Ani 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan
adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku
semakin mendekat saja.
“Bernasss … ampunnn Bernasss … kontolnya
kok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi
… tante geliii banget nihhh …” kata tante Ani.
“Tante … Bernasss dah sampai ujung nih …”
kataku sambil mempercepat goyangan
pinggulku.
Puting tante Ani semakin terlihat mencuat
menantang, dan kedua payudara pun terlihat
mengeras. Aku mendekatkan wajahku ke wajah
tante Ani, dan bibir kami saling berciuman. Aku
julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan
lidah kami saling berperang di dalam. Posisi
bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku
tetap di atas tubuh tante Ani.
Aku percepat kocokan penisku di dalam memek
tante Ani. Tante Ani sudah menjerit-jerit dan
meracau tak karuan saja.
“Bernasss … tante datangggg … uhhh …
ahhhhhh …” jerit tante Ani sambil memeluk erat
tubuhku. Ini pertanda tante Ani telah ‘orgasme’.
Aku pun juga sama, lahar panas dari dalam
penisku sudah siap akan menyembur keluar.
Aku masih ingat pesan tante Ani agar spermaku
dilepas keluar dari memek tante Ani.
“Tante … Bernassss datangggg …” jeritku panik.
Kutarik penisku dari dalam memek tante Ani, dan
penisku memuncratkan spermanya di perut
tante Ani. Saking kencangnya, semburan
spermaku sampai di dada dan leher tante Ani.
“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan
kepuasanku.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya
banyak bangettt sih …” canda tante Ani. Aku
hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat
mengomentari candaan tante Ani.
Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku
merebahkan tubuhku di samping tubuh tante
Ani. Kepalaku masih teriang-iang dan nafasku
masih belum stabil. Mataku melihat ke langit-
langit apartment tante Ani. Aku baru saja
menikmati yang namanya surga dunia.
Tante Ani kemudian memelukku manja dengan
posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum
rambutku tercium oleh hidungku.
“Bernas puas ngga?” tanya tante Ani.
“Bukan puas lagi tante … tapi Bernas seperti baru
saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante
Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang
pasti memek tante sekarang ini masih
berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama
Bernas?” tanya tante Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas Junior … tuh
tante liat jembut Bernas banyak bercak-bercak
lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir
keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Ani
sambil mencubit penisku yang sudah mulai
loyo.
“Bernas sering-sering datang ke rumah tante aja.
Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante
Ani.
“Sippp tante.” jawabku serentak girang.
Malam itu aku nginap di rumah tante Ani.
Keesokan harinya aku langsung pulang ke
rumah. Aku sempat minta jatah 1 kali lagi
dengan tante Ani, namum ajakanku ditolak halus
olehnya karena alasan dia ada janji dengan
teman-temannya.
Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap
tante Ani tanpa sepengetahuan orang lain
terutama ayah dan ibu. Tante Ani senang
bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang
bervariasi pula selain apartementnya sendiri.
Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat yang
hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa
kecantikan ibuku (ini aku berusaha keras untuk
menyelinap agar tidak diketahui oleh para
pegawai di sana). Tante Ani sangat menyukai
dan menikmati seks. Menurut tante Ani seks
dapat membuatnya merasa enak secara jasmani
dan rohani, belum lagi seks yang teratur
sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah
menceritakan kepadaku tentang rahasia awet
muda bintang film Hollywood tersohor bernama
Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat
saja yaitu seks dan diet yang teratur.
Tante Ani paling suka ‘bermain’ tanpa kondom.
Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil
sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi
saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi.
Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai
kondom. Di saat setelah selesai masa
menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom
boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku
bisa sepuasnya berejakulasi di dalam
memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante
Ani lupa menyetok kondom, kita masih saja
nekat bermain tanpa kondom dengan
berejakulasi di luar (meskipun ini rawan
kehamilannya tinggi juga).
Hubungan gelap ini sempat berjalan hampir 4
tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan
cinta terhadap tante Ani. Maklum aku masih
tergolong remaja/pemuda yang gampang
terbawa emosi. Namun tante Ani menolaknya
dengan halus karena apabila hubunganku dan
tante Ani bertambah serius, banyak pihak luar
yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami.
Tante Ani sempat menjauhkan diri setelah aku
mengatakan cinta padanya sampai aku benar-
benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah
hati waktu itu (hampir 1.5 tahun), tapi aku masih
memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan
sakit hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’
dengan tante Ani.
Saat ini aku masih berhubungan baik dengan
tante Ani. Kami kadang-kadang menyempatkan
diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-
kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood
kami masing-masing. Tante Ani sampai
sekarang masih single. Aku untuk sementara ini
juga masih single. Aku putus dengan pacarku
sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan
pacarku, tante Ani sempat menjadi pelarianku,
terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak
benar dan kasihan tante Ani, namun tante Ani
seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang
patah hati pasti akan mencari seorang pelarian.
Jadi tante Ani tidak pernah merasa bahwa dia
adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman
yang ingin membantu meringkankan beban
perasaan temannya.

1 comment: